
Lingkar Inspirasi – Rancangan Undang-Undang Kepolisian Republik Indonesia (RUU Polri) tengah menjadi sorotan publik. Revisi terhadap Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian ini menuai perdebatan, terutama terkait potensi dampaknya terhadap kebebasan berekspresi dan hak asasi manusia di Indonesia.
Sejumlah pasal dalam revisi UU Polri dinilai berpotensi memperluas kewenangan kepolisian dalam melakukan pengawasan dan penindakan terhadap ujaran yang dianggap melanggar hukum.
Hal ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan aktivis, akademisi, hingga masyarakat sipil yang mengkhawatirkan bahwa kebijakan ini bisa disalahgunakan untuk membungkam kritik terhadap pemerintah.
Ekspansi Kewenangan Polri dan Potensi Penyalahgunaan
Dalam draft revisi yang beredar, terdapat sejumlah ketentuan yang memberikan Polri wewenang lebih besar dalam memantau aktivitas masyarakat, termasuk di ranah digital.
Beberapa poin yang menuai kritik antara lain:
1. Pengawasan Media Sosial
RUU ini memberikan Polri wewenang lebih luas untuk mengawasi dan menindak konten digital yang dianggap melanggar ketertiban umum. Aktivis menilai aturan ini bisa menjadi alat represif yang membatasi kebebasan berekspresi.
2. Peningkatan Kewenangan dalam Penindakan
Revisi ini juga mencakup perluasan kewenangan Polri dalam menangani pelanggaran yang bersifat administratif maupun pidana. Beberapa pihak menilai ketentuan ini berpotensi membuka ruang penyalahgunaan wewenang, terutama terhadap kelompok yang kritis terhadap kebijakan pemerintah
3. Peningkatan Peran Intelijen Kepolisian
Salah satu poin yang menjadi sorotan adalah peran intelijen kepolisian yang lebih besar dalam mengantisipasi potensi gangguan keamanan. Namun, batasan dan mekanisme pengawasannya masih menjadi pertanyaan besar.
Reaksi Publik dan Kekhawatiran Demokrasi
Pakar hukum tata negara dari Universitas Indonesia, Dr. Budi Santoso, menilai bahwa beberapa ketentuan dalam revisi ini bisa bertentangan dengan prinsip demokrasi dan hak asasi manusia.
“Dalam negara demokrasi, kebebasan berpendapat adalah hak fundamental yang harus dilindungi. Jika kewenangan kepolisian diperluas tanpa pengawasan yang ketat, ini bisa menjadi ancaman bagi hak-hak sipil,” ujarnya.
Sementara itu, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Demokrasi menyatakan bahwa revisi UU Polri ini perlu dikaji lebih dalam agar tidak menjadi alat untuk membungkam kritik terhadap pemerintah.
“Kami melihat ada potensi kriminalisasi terhadap warga negara yang menyampaikan kritik atau pendapatnya secara terbuka. Ini bertentangan dengan konstitusi yang menjamin kebebasan berpendapat,” kata juru bicara koalisi tersebut.
Di sisi lain, pihak kepolisian berargumen bahwa revisi ini diperlukan untuk menyesuaikan peraturan dengan perkembangan zaman, terutama dalam menghadapi ancaman keamanan siber dan kejahatan digital.
Kepala Divisi Humas Polri, Irjen Pol. Andi Prasetyo, menyatakan bahwa aturan ini bertujuan untuk menjaga ketertiban umum dan bukan untuk membatasi kebebasan berekspresi.
Masa Depan Kebebasan Berekspresi di Indonesia
Revisi UU Polri ini masih dalam tahap pembahasan di DPR dan menuai pro-kontra di berbagai kalangan. Para pegiat hak asasi manusia mendesak agar revisi ini tidak bertentangan dengan prinsip demokrasi dan kebebasan sipil.
Jika revisi ini disahkan tanpa pengawasan dan batasan yang jelas, ada potensi meningkatnya pembatasan kebebasan berekspresi di Indonesia. Oleh karena itu, masyarakat sipil, akademisi, dan lembaga hukum mendesak agar proses revisi dilakukan secara transparan dan melibatkan partisipasi publik secara luas.
Pemerintah dan DPR kini menghadapi tantangan besar dalam merancang regulasi yang seimbang antara keamanan negara dan perlindungan hak asasi manusia. Keputusan yang diambil akan sangat menentukan masa depan demokrasi dan kebebasan berpendapat di Indonesia.